Kota Baru, KURSOR Meskipun PT. Semen Kupang telah dinyatakan pailit atau bangkrut, namun hal itu bukan berarti pihak perusahaan melepaskan tanggungjawan terhadap para buruh atau karyawannya. Pihak manajemen perusahaan tetap harus diminta pertanggungjawabannya untuk menyelesaikan hak-hak dari para buruhnya yang sudah dua tahun tidak dibayarkan.
Mengenai hak-hak buruh PT.Semen Kupang, dimana dua tahun terakhir tidak diberikan kepada buruh, pihak perusahaan tetap diminta pertanggungjawaban”, kata pemerhati masalah ekonomi dari Yayasan Pikul NTT, Anitra Sontiar, yang dihubungi KURSOR, Selasa (11/5) untuk dimintai tanggapannya tentang apa yang mesti dilakukan pemerintah dalam merespon tuntutan mantan karyawan PT. Semen Kupang yang hak-haknya tidak pernah bisa dipenuhi oleh manajemen Perusahaan tersebut.
Dia mengatakan, tidak dibayarkan hak-hak para mantan karyawan itu karena alasan bahwa perusahaan tersebut telah bangkrut, maka menurut dia, pemerintah bisa bersikap tegas meminta perusahaan untuk menjual aset-aset yang tersisa untuk membayar seluruh hak-hak buruh. Karena menurut perundangang-undangan jelas dia, jika perusahaan mengalami kebangkrutran maka hak-hak buruh harus diutamakan dulu walaupun itu dengan cara menjual aset.
“Jika perusahaan ini BUMN, pemerintah juga bisa diminta pertanggungjawaban untuk membayar seluruh hak-hak hak-hak buruh. Jadi didesak aja pemerintah untuk menjual aset untuk membayar hak-hak buruh”, ungkap dia.
Menjawab KURSOR bahwa bisa saja pemerintah mendesak manajemen perusahaan agar segera membayar hak-hak para mantan karyawan tersebut. Tetapi masalahnya, pemerintah provinsi hanya memiliki jumlah saham sebanyak 1,78 persen, oleh Anitra Sontiar dijelaskan bahwa memang bukan mudah untuk memperjuangkan hak-hak buruh karena posisinya lemah dan selalu “dikalahkan” dengan berbagai macam cara oleh pengusaha yang bersekongkol dengan Penguasa. Sehingga menurut dia, untuk menyelesaikan permasalah ini sudah tentu butuh energi dan militansi yang panjang.
Meski demikian dia berpendapat, para mantan karyawan PT. Semen Kupang tersebut jangan terjebak dengan urusan pemerintah memiliki saham berapa dan pengusaha saham berapa. Ada beberapa rasionalisasi kenapa kita harus mendesak pemerintah. Pertama, pemerintah berkewajiban melindungi dan menjamin hak-hak warganya dan menjamin bahwa seluruh perundang-undangan dan peraturan di patuhi oleh semua pihak termasuk ketika Pengusaha PT Semen Padang yang sudah mengabaikan hak-hak karyawan sekalipun saham pemerintah tidak ada di perusahaan tersebut. Jadi sebaiknya kita jangan memasuki arena kepemilikan saham siapa.
Kedua, pemerintah memiliki saham sebesar 1, 78 %, berarti harusnya pemerintah juga ikut bertanggungjawab atas masalah ini semua, kecuali di tentukan lain dari perjanjian mereka. Tinggal bagaimana pemerintah dan pengusaha berunding pembagian kewajiban terhadap penyelesaian hak-hak karyawan.
Ketiga, jika perusahaan pailit, UU mewajibkan pengusaha harus meyelesaikan hak-hak buruh dan jika perlu menjual aset untuk memenuhi kewajibannya terhadap buruh. Yang menjadi soal pengusaha pada umumnya tidak akan rela untuk melakukan hal ini, dan pemerintah juga punya kepentingan untuk hak ini kita butuh “kegigihan” untuk memperjuangkan hak kita.
Keempat, jika perusahaan PT Semen Kupang sudah KSO kan ke PT. Sarana Agro Gemilang (SAG), ini memang tambah rumit, tambah pekerjaan, kita harus memastikan kontrak/isi perjanjian kerjasama itu siapa yang bertanggungjawab menyelesaikan hak-hak buruh. Apakah PT.Semen Kupang atau bisa saja kesepakatan mereka PT Sarana Agro Gemilang. Sementara akses kita terhadap informasi ini sulit, biasanya mereka yang bersepakat kerjasama itu tidak membuka hal ini terhadap buruh. Sementara pemerintah yang diharapkan bisa menegarai ini, tapi dia juga punya kepentingan karena memiliki saham di dalam walaupun kecil.
Dan bagaimana untuk memastikan itu, dia memberikan saran kecil yang mungkin bica dicoba, yaitu, menuntut uang pesangon/ hak-hak buruh kepada pemerintah dengan alasan bahwa pemerintah juga punya saham diperusahaan tersebut. Mudah-mudahan pemerintah tersentuh dan menjelaskan bahwa status perusahaan dan juga satrau KSO nya perusahaan PT.SAG. (Koran KURSOR, 11 Mei 2010-http://korankursor.wordpress.com/2010/05/11/).
HUKUM adalah panglima. Artinya hukum tidak bisa diatur-atur. Hukum tidak bisa dibelokkan sesuai kepentingan dan hukum harus ditegakkan tanpa melihat status sosial. Tetapi bagaimana kalau penegak hukum gampang diatur? Tentu hukum tidak tegak.
Fenomena inilah yang terjadi di negeri tercinta ini; Indonesia. Kasus Gayus Tambunan, kini ibarat bola panas yang liar. Ia bisa menyambar siapa saja. Bisa juga kasus Gayus seperti bola salju. Makin lama-makin banyak yang terlibat.
Buktinya, setelah mantan Kabareskrim Susno Duadji ''menyanyikan'' kasus Gayus, telah menyeret belasan orang sebagai tersangka. Mereka terdiri atas para penyidik di Mabes Polri, hakim yang menangani kasus tersebut, pengacara, termasuk sejumlah orang yang disebut-sebut sebagai makelar kasus.
Dari pengungkapan, penanganan sampai keputusan kasus Gayus Tambunan, sangat jelas terlihat hukum bukan sebagai panglima. Demikian pula dalam kasus Anggodo dan kriminalisasi pimpinan KPK Bibit-Chandra. Banyak yang menilai kasus tersebut sarat dengan kepentingan. Bahkan, Bibit-Chandra menilai kasus ini tak lepas dari kegigihan KPK mengungkap kasus korupsi yang melibatkan puluhan anggota DPR. Walaupun tak diungkapkan secara gamblang, tetapi keduanya menyatakan kasus tersebut dilatarbelakangi upaya memperlemah peran KPK.
Benarkah demikian? Tentu hukum dan waktulah yang membuktikan. Tetapi, sejumlah anggota DPR membantah hal tersebut. Mereka menilai tak ada hubungan sama sekali antara diadilinya anggota DPR dalam kasus korupsi dengan kasus Bibit-Chandra.
Namun apa pun yang melatarbelakanginya, kedua kasus tersebut perlu mendapat perhatian semua pihak. Jangan sampai upaya untuk melemahkan penegakan hukum, baik dikarenakan ulah mereka yang ada di internal instansi tersebut maupun mereka yang ada di luar, terus terjadi di negeri ini.
Kasus Gayus, Anggodo dan Bibit-Chandra perlu perhatian semua pihak, termasuk Presiden. Memberi perhatian tidak berarti mengintervensi. Tetapi Presiden harus mengambil langkah pembenahan dan perbaikan, sehingga hukum benar-benar menjadi panglima. Presiden juga harus melakukan penataan SDM sehingga aparat penegak hukum betul-betul adalah orang yang terbaik, bermoral dan diyakini mampu menegakkan hukum secara adil terhadap siapa pun.
Menegakkan keadilan dalam hukum merupakan tugas yang sangat berat. Sebab, seringkali terjadi penyimpangan dalam realisasi praksisnya di lapangan politik. Seringkali fakta yang telah diletakkan penyelidikan hukum bisa berubah sekejap menjadi fakta politik yang kebal hukum. Di samping juga tidak sedikit aparat penegak hukum seringkali memainkan perundang-undangan yang berlaku, sehingga menjadikan hukum makin menjauh dari idealitas keadilan.
Sisi paradoksal juga dicerminkan ketika bersentuhan dengan fakta sosial di masyarakat. Seringkali hukum dibuat tidak berdaya. Kebebasan individu yang sangat kuat makin berkembang, menyesuaikan dengan arah gelombang politik.
Inilah yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Kepentingan politik dan satu aspirasi politik seringkali membuat aparat penegak hukum tak berdaya. Mereka diatur dengan alasan stabilitas keamanan dan politik. Kedua alasan tersebut (stabilitas keamanan dan politik) sering dijadikan tameng untuk mempermainkan hukum.
Padahal, hukum bukanlah membela kepentingan dan kebebasan individu, tetapi hukum harus berpijak kepada kepentingan dan keteraturan publik. Hukum sangat mengecam individu yang kebal hukum. Bahkan, individu yang demikian itulah yang harus menjadi target lembaga penegak hukum dalam merealisasikan penegakan keadilan. Karena keadilan milik semuanya, bukan memandang status dan jabatan.
Moralitas penegak keadilan adalah kata kunci untuk mengurai kusutnya hukum di Indonesia. Sebab, moralitas juga akan membangun sistem hukum itu sendiri mendekat kepada kebenaran dan keadilan, sehingga akan mendekatkan kepada idealitas hukum sebagai penegak keadilan. ( Tajuk Rencana – Bali Post, 19 Juni 2010 - http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailrubrik&kid=3&id=3883 ).
FRONT RAKYAT ANTI KORUPSI
NUSA TENGGARA TIMUR (FRAKSI - NTT)
Bangsa ini di ibaratkan makluk yang selalu menjadi sasaran empuk para pemangsa rakus. Keluar dari mulut singa masuk mulut buaya adalah sebuah analogi sederhana yang tentu tepat dengan deskriptif sejarah perjalanan bangsa ini. Setelah baru saja menarik nafas kebebasan dari cengkraman kolonialisme dan fasisme, bangsa ini langsung di sambar dengan hegemoni kapitalisme serta resim otoriter, represif sarat korup selama 32 tahun. Harapan sejati akan perubahan politik, ekonomi serta budaya yang di hasilkan dalam perjuangan politik mahasiswa dan rakyat pada Mey 1998, ternyata hingga kini belum dirasakan.
Terpaan hegemoni kapitalisme kembali lagi dalam misi penjarahannya paska penandatanganan leter of intens (loi). Privatisasi aset-aset strategis bangsa, penguasaan sumberdaya alam, tenaga kerja yang murah, hancurnya industri nasional (BUMN/BUMS) akibat legitimasi terhadap ekspansi modal asing dalam bentuk deregulasi serta utang luar negeri yang makin menumpuk. Dan kemudian di perparah lagi dengan sebuah warisan penguasa lama yang sangat tercela dan memalukan adalah mentalitas pejabat negara yang KORUP serta penegakan supremasi hukum yang kacau-balau akibat pembangunan hukum yang hanya belandaskan system tebang pilih serta proseduralisme dan mengabaikan substansi hukum yakni keadilan (Justice).
Korupsi adalah Musuh Bangsa
Masih segar dalam ingatan rakyat Indonesia tentang janji rezim yang berkuasa kiniSBY-Boedionoyang dalam kampanyenya menempatkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (clean governance) merupakan salah satu pilar pembangunan. Disini, pembangunan mensyaratkan adanya pemerintahan yang bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Alhasil, mereka terpilih dan rakyat Indonesia pun menanti realisasi janji-janji ini, bukannya menunggu rasionalisasi.
Wujud jangka pendek penyelenggaraan pemerintahan SBY-Boediono dan komitmen mereka memberantas bahkan mencegah korupsi dapat kita ukur dalam program 100 Hari. Korupsi merupakan bentuk kejahatan yang dikategorikan sebagai “kejahatan luar biasa” (extra ordinari crime). Korupsi seharusnya menjadi “lawan” pertama dan terutama dari pemerintah. Sebab, korupsi adalah “biang” penindasan, penghisapan dan pemiskinan rakyat dan bangsa. Tidak peduli, apakah korupsi itu terjadi dalam lembaga-lembaga pemerintahan dan dilakukan oleh aparatur pemerintah, atau terjadi mulai dari tingkat RT sampai dengan Istana, korupsi harus diperangi dan para koruptor harus dihukum. Hal ini tentu dilandasi oleh kesadaran esensial yakni korupsi adalah musuh rakyat dan pemerintahmusuh bangsamusuh kita semua.
Namun, dalam perjalanan penyelenggaraan pemerintahan SBY-Beodiono, sederet kasus korupsi yang melibatkan bermacam-macam elemen pemerintahan, korupsi dan koruptor tidak dapat diberantas. Politik koruptif nampak tumbuh subur karena pemerintah mengalami disfungsi dan
bahkan menjadi bagian dalam praktek politik koruptif. Dan dalam hubungannya dengan agenda utama pemberantasan korupsi sebagaimana dijanjikan rezim SBY-Boediono, penghadapan terhadap politik koruptif akan cerminan dari sejauh mana mereka sejati terhadap komitmennya.
Polemik yang terkuak melalui apa yang disebut masyarakat Indonesia sebagai “Kriminalisasi KPK” telah menjadi jendela untuk rakyat melihat, memantau dan menilai betapa busuknya perilaku lembaga-lembaga dan aparatur negara berkaitan dengan upaya pemberantasan korupsi. Mengurai benang kusut korupsi sebagaiman terus-menerus dipublikasikan media, mulai dari skandal Bank Century, pencekalan dua pimpinan KPK yakni Bibit-Chandra oleh pihak Kepolisian, sosok Anggoro yang misterius dan kebal hukum, keterkaitan pejabat-pejabat Kepolisian dan Kejagung, lambatnya dan tidak tegasnya Presiden SBY, absurditas peran DPR, polemik RUU Tipikor, dan lain-lain, telah mengakibatkan munculnya reaksi protes dan perlawanan keras oleh rakyat di seluruh belahan nusantara. Ini patut dimaklumi, sebab selain rakyat telah menarik kepercayaannya dari para pejabat negara dan lembaga-lembaga hukum dan peradilan yang selama ini tidak sanggup memberantas korupsi serta mendapati bahwa baik lembaga dan aparatur negara tidak lebih sekadar “sarang” dan koruptor itu sendiri, rakyat menangkap indikasi adanya lingkar-lingkar konspiratif yang hendak “mematikan” upaya perang terhadap politik koruptif.
Fenomena ini harus tidak boleh dipandang sepele. Ia harus dibaca sebagai momentum telah terjadinya delegitimasi terhadap upaya memberantas korupsi di Indonesia, baik kepada pemimpin negara, lembaga-lembaga hukum dan aparaturnya dalam memberantas korupsi. Delegitimasi ini pun, menandai telah matinya supremasi hukum. Delegitimasi ini pun adalah gugatan terhadap eksistensi mereka yang sudah disfungsi ketika terlilit dalam lingkaran politik koruptif. Dan, delegitimasi ini adalah legitimasi rakyat atas suara telah “gagal-nya” resim SBY-Boedino dalam memberantas korupsi di Indonesia.
Dari sedikit deskripsi singkat di atas maka dengan ini kami FRONT RAKYAT ANTI KORUPSI NUSA TENGGARA TIMUR (FRAKSI - NTT) menyatakan beberapa tututan politik kami :
1.Menuntut SBY & BUDIONO segera mempertanggungjawabkan janji kampanyenya pada saat pemilihan peresiden yang lalu terkait dengan Penegakan Hukum, Pemerintahan yang Bersih, dan Pemberantasan korupsi.
2.Mendesak KPK untuk segera menuntaskan kasus dugaan korupsi di Bank Century yang sangat merugikan negara dan rakyat Indonesia dan diduga ikut menjadi biang keladi proses pelemahan KPK.
3.Mendesak Tim Pencari Fakta (TPF) dalam sengketa kriminalisasi KPK untuk transparan terhadap publik dalam setiap temuan kerja investigasinya.
4.Mendukung secara penuh kuasa hukum Bibit & candra dalam upaya membongkar setiap gerbang mafia peradilan yang masih membentengi semangat penegakan hukum di Indonesia.
5.Mendesak KAPOLRI untuk segera tangkap dan adili Anggodo Widjojo sebagai sutradara kriminalisasi KPK.
6.Mendesak SBY untuk segera mencopot pejabat penegak hukum yang terkait dengan permasalahan kriminalisasi KPK guna kelancaran proses hukumnya.
7.Menuntut perluasan struktur KPK sampai pada tingkat kabupaten di seluruh Indonesia.
8.Menuntut segera melakukan reformasi total dalam sistem penegakan hukum.
Demikian pernyataan sikap ini kami buat sebagai bentuk keperihatinan kami terhadap kondisi bangsa tercinta ini dan secara lebih khusus persoalan penegakan hukum yang semakin memalukan.
Kupang, 10 November 2009
FRONT RAKYAT ANTI KORUPSI
NUSA TENGGARA TIMUR (FRAKSI - NTT)
Direktur PIAR-NTT
Sarah Lery Mboeik
Ketua BP. Pemuda GMIT
Winston Rondo
Ketua Forum Academia NTT
Wilson Therik
Wakil Direktur CIS Timor
Haris Oematan
Direktur Bengkel APPeK
Vinsen Bureni
Direktur RUMAH PEREMPUAN
Libby SinlaEloE
DPC PMKRI Kupang
Yoakhim Abi
Ketua BPC GMKI Kupang
Ebiets Massu
Ketua LMND Eksekutif Kota Kupang
Are Defretes
Ketua GERSAK Kupang
Bedy Roma
Ketua SEPARATIK Kupang
Willy Soeharly
Ketua SRMI NTT
Rio Ello
Ketua FORMASI NTT
Paul SinlaEloE
Direktur PIKUL NTT
Silvya Fanggidae
Direktur Perkumpulan Masyarakat
Penggulan Bencana
Yus Nalmofa
Ketua Dewan Kesehatan Rakyat
Nusa Tenggara Timur
Anitra Sitanggang
PIAR NTT sebagai Organisasi Non Pemerintah yang konsen dengan isu penegakan HAM dan demokratisasi setiap tahunnya berupaya melakukan monitoring/pemantauan terhadap Kasus-kasus Pelanggaran HAM dan Tindakan Kekerasan di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Pemantauan yang dilakukan oleh PIAR NTT ini berbasiskan pada kasus pelanggaran HAM yang diadvokasi oleh PIAR NTT dan Media Massa (NB: Media Cetak, Media Elektronik dan Media On-Line). Pemantauan ini dilakukan guna mendeteksi perkembangan serta profil pelanggaran HAM dan kekerasan di NTT.
Sudah sangat banyak instrumen hukum baik nasional maupun internasional yang mengatur tentang perlindungan dan penegakkan HAM seperti UU 39 tahun 1999 tentang HAM, UU 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU 11 dan 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak SIPOL dan EKOSOB, UU Nomor 7 Tahun 1984 yang meratifikasi Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, Keputusan Presiden No. 36/1990 tentang rafikasi Konvensi Hak Anak pada tanggal 25 Agustus 1990, UU 23 tahun 2000 tentang Perlindungan Anak, UU 23 tahun 2004 tentang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Namun kasus Tindakan Kekerasan dan kasus pelanggaran HAM masih saja menjadi persoalan serius bagi bangsa Indonesia. Itu pertanda bahwa pemahaman masyarakat dan pengambil kebijakan tentang perlindungan HAM masih menjadi masalah bersama. Dalam konteks yang demikian maka PIAR NTT sebagai lembaga yang konseren dengan isu penegakan HAM dan demokratisasi berupaya melakukan pemantauan guna mendeteksi perkembangan serta profil pelanggaran HAM dan kekerasan di NTT. Untuk mendapatkan gambaran tentang perkembangan pelanggaran HAM dan kekerasan maka selama periode Januari - Desember 2009 PIAR NTT melakukan investigasi lapangan, pemantauan melalui media massa dan mengupdate laporan atau pengaduan masyarakat.
Dari pantauan PIAR NTT selama ini ditemukan bahwa masalah pelanggaran HAM dan tindak kekerasan masih tumbuh subur dan merajalela pada level dan dimensi kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Hampir pada semua level dan tataran masyarakat masih ditemukan adanya pelanggaran HAM dan kekerasan, tidak terkecuali misalnya dalam dunia pendidikan dimana banyaknya peristiwa kekerasan seksual yang dilakukan tenaga pendidik terhadap anak didiknya sekian banyak kasus percabulan, penganiayaan, serta banyaknya kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dan kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh aparat kepolisian di wilayah Nusa Tenggara Timur.
Deskripsi Tindak Kekerasan dan Pelanggaran HAM di NTT
Dalam pemantauan, PIAR NTT berusaha untuk mengamati dan mendeteksi tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh State Actor (Aparat Negara) seperti yang dilakukan oleh Aparat Polri, TNI, PNS, Guru, Dosen, Aparat kelurahan/desa) dan non state actor yang meliputi masyarakat umum dan sektor swasta lainnya.
Dari pantauan tersebut, PIAR memperoleh deskripsi pelanggaran HAM yang menyebutkan bahwa selama bulan Januari 2009 – Desember 2009, telah terjadi 385 peristiwa/kasus tindak kekerasan dan Pelanggaran HAM yang memakan korban sebanyak 3.677 orang.
Peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM selama periode tersebut meliputi tindakan percabulan, pemerkosaan, penganiayaan dan penyiksaan, pembunuhan/penembakan, pembunuhan dengan latar belakang pemerkosaan, intimidasi, pengrusakan, perampasan, pencurian, pungutan liar, penipuan, Penangkapan sewenang-wenang, trafiking, perjudian, KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga), kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap anak, kekerasan dalam pacaran, penelantaran, Aborsi, penghamilan dan lari dari tanggungjawab, perselingkuhan, perzinahan, kekerasan oleh majikan, hak ekonomi social budaya masyarakat, serta khusus disoroti tentang kekerasan aparat negara (militer, Polri, PNS, guru, Dosen, aparat Desa/Kel, dan DPRD) yang juga mencakup jenis-jenis kekerasan yang disebutkan sebelumnya. Berbagai tindak kekerasan dan pelanggaran HAM tersebut tersebar pada hampir semua wilayah provinsi NTT seperti Kota Kupang, Kab. Kupang, TTS, TTU, Belu, Flores Timur, Sikka, Rote Ndao, Manggarai, Manggarai Timur, Manggarai Barat, Alor, Sumba Barat Daya, Sumba Timur, Ngada, Sabu, Lembata, Ende, dan Nagekeo.
Dari hasil monitoring Tindak Kekerasan dan Pelanggaran HAM didapatkan data yang menyebutkan 129 kasus atau 33,51% dengan korban sebanyak 3.352 orang dilakukan oleh Aparat Negara/state actor (Polisi, TNI, Aparat Desa, Dosen, Guru, Anggota DPRD, dll) sedangkan 225 kasus lainnya atau 58,44% dilakukan oleh masyarakat/non state actor seperti pengojek, pemulung, pedagang,petani, ayah kandung/tiri, suami, istri, pacar, ayah, ibu, anak, kerabat dekat, siswa, mahasiswa, dukun beranak dalam kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak serta penganiayaan. Pelaku yang tidak diketahui sejumlah 31 kasus atau 8,05 %.
Hasil analisis PIAR NTT, juga memukan bahwa pelaku tindak kekerasan dan pelanggar HAM terbesar adalah aparat kepolisian karena dari 129 kasus yang dilakukan aparat negara 40 kasusnya atau 31,00% dilakukan oleh aparat kepolisian. Data juga menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan terbanyak adalah kasus penganiayaan sebanyak 95 kasus atau 24,67 %, Kekerasan Dalam Rumah Tangga 57 kasus atau 14,80%, Pemerkosaan 44 kasus atau 11,42%, Percabulan 43 kasus atau 11,16%, dan Perampasan serta pencurian 21 kasus atau 5,45%. Dilihat dari jumlah korban, kasus dengan korban terbanyak yakni pelanggaran Hak Ekonomi Sosial Budaya dengan korban sebanyak 3073 orang atau 83,57%, diikuti Trafiking 193 orang atau 5,24%, Penganiayaan 125 orang atau 3,39%, KDRT 59 orang atau 1,60% dan Percabulan 53 orang atau 1,44%.
Tahapan proses hukum yang dilakukan terhadap kasus yang terjadi menunjukkan data sebagai berikut, sebanyak 92 kasus atau 23,89% sampai pada tahap pelaporan polisi, tahap Penyelidikan sebanyak 80 kasus atau 20,77%, tahap penyidikan sebanyak 103 kasus atau 26,75%, tahap proses pengadilan sebanyak 34 kasus atau 8,83%, tahap putusan pengadilan sebanyak 37 kasus atau 9,61% dan kasus yang tidak jelas proses hukumnya sebanyak 39 kasus atau 10,12%.
Selain tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang bersifat sipil politik, ada juga pelanggaran HAM dari sisi hak ekonomi sosial dan budaya di mana negara tidak mampu memenuhi kewajibannya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dampaknya masyarakat masih tetap berkutat dengan masalah kemiskinan, ancaman kekeringan, rawan pangan, gizi buruk, angka kematian ibu yang tinggi, anak-anak yang terancam putus sekolah karena ketiadaan dana, korupsi yang merajalela, juga masih adanya konflik sumber daya seperti perampasan tanah adat milik masyarakat dll.
Dari hasil monitoring PIAR NTT, selama Januari – Desember 2009 telah terjadi 4 kasus atau 1,03% pelanggaran hak ekonomi sosial dan budaya dengan korban terbanyak yakni sebanyak 3.073 orang.
Diskriminasi, Impunitas dan Stagnan Proses Hukum
Ironisnya, proses hukum yang adil dan berpihak kepada hak-hak korban jarang sekali dijumpai dalam penanganan kasus-kasus di tingkat aparatur hukum. Sanksi hukum sepertinya hanya berlaku untuk masyarakat lemah dan tidak berdaya sedangkan para pelaku yang tergolong aparat negara dan pejabat yang berduit sangat sulit untuk dikenakan sanksi hukum. Misalnya para penegak hukum yang ketahuan melakukan pelanggaran seperti kasus tewasnya tahanan di Polsek Nunpene yang melibatkan Ketua DPRD TTU dan anggota polisi, hingga saat ini belum jelas bahkan rancu karena beberapa saksi anggota polisi yang saat itu bertugas belum diambil keterangan namun masyarakat yang hanya melakukan kasus-kasus kecil dapat dikenakan sanksi hukum yang berat.
Hal lain yang melibatkan penegak hukum yang dapat dicermati dari fakta kecelakaan karena tendangan seorang anggota polisi terhadap 2 (dua) siswa SMA yang sementara berboncengan sepeda motor di depan Rumah Sakit Umum Kupang dan mengakibatkan meninggalnya dua siswa tersebut namun prosesnya memakan waktu yang cukup lama baru kemudian ditetapkan tersangkanya.
Publik Nusa Tenggara Timur mencium adanya perlakuan istimewa yang diterima mereka. Alasan pembenaranpun diungkapkan untuk menutupi akan kepincangan penegakan hukum. Fakta ini tentu bertolak belakang dengan kasus yang melibatkan masyarakat kecil yang dicurigai langsung ditahan serta tanpa tedeng aling-aling mengalami proses hukum dan dikenakan sanksi bahkan ada juga kasus salah tangkap yang terjadi atas seorang karyawan Toko Piala Jaya yang dicurigai menggelapkan uang bosnya sebanyak Rp. 300 juta yang saat itu langsung ditangkap dan diselidiki oleh polisi. Ia mengalami penyiksaan yakni lehernya ditikam dengan bambu oleh anggota polisi dan kuku kaki dari ibu jari kaki kirinya dicabut oleh seorang anggota buser.
Di mata publik ini merupakan penegakan hukum yang pincang karena berlaku bagi kaum yang tidak berjabat dan tidak beruang sedang para penguasa, pejabat dan kaum berduit tidak tersentuh oleh proses hukum dan target penegakan hukum tersebut.
Berbagai kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, terutama kasus KDRT dan kekerasan terhadap perempuan berupa penghamilan dan Lari dari Tanggung Jawab yang sangat tren di NTT, Ingkar Janji Nikah, Penganiayaan, Penelantaran, Percobaan Pembunuhan terhadap kandungan yang tidak disetujui sangat dominan dalam potret kekerasan dan pelanggaran HAM di NTT.
Tercatat oleh PIAR NTT setiap bulan 2-3 korban kekerasan yang datang mengadu dan minta pendampingan. Ironisnya, tidak ada tindakan hukum yang tegas oleh atasan para pelaku, kalaupun ada itupun tidak seimbang dengan perbuatan pelaku dan hukuman yang diberikan pun tidak pro dengan penderitaan yang dialami perempuan. Hal ini mendapat protes dari korban maupun keluarga korban. Mungkinkah ini menunjukan bahwa produk hukum yang berlaku di kepolisian belum memenuhi hak korban dan pro dengan kepentingan perempuan?
Masih juga ditemukan banyak kendala dalam upaya yang ditempuh oleh PIAR NTT (bersama dengan elemen masyarakat sipil), korban kekerasan dan keluarganya dalam penegakkan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak korban-korban kekerasan, selain itu masih adanya praktek-praktek impunitas hukum terhadap pelaku kekerasan. Walaupun ada intervensi dan tindakan hukum yang diberikan oleh aparat berwenang tapi masih tidak sebanding dengan akibat sosial, mental, psikis dan fisik yang diderita oleh korban.
Seharusnya para Kepolisian di NTT dapat mencontohi tindakan yang pernah diambil oleh MABES POLRI terhadap Mantan Kapolda Sulawesi Tenggara dengan menNonJobkan beliau karena terbukti melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap sejumlah bawahannya. Realitas ini membuktikan perlakuan hukum di NTT tidak adil dan masih memilah-milah, padahal semua orang tanpa terkecuali mempunyai hak yang sama dimata hukum.
Catatan Penutup
Pengusutan, penanggulangan serta upaya-upaya menekan tindakan kekerasan dan kasus Pelanggaran HAM di NTT tidak ada kemajuan yang signifikan. Masih banyak pelaku, terutama yang punya kuasa, jabatan dan senjata masih berkeliaran walaupun atas ulah mereka banyak orang dirugikan, kehilangan haknya bahkan sampai yang kehilangan nyawa. Pemahaman dan penerapan nilai-nilai HAM dalam praktek bernegara dan bermasyarakat haruslah menjadi perhatian dan komitmen bersama, baik sebagai state actor maupun sebagai non state actor. Hal tersebut harus juga disertai dengan komitmen kuat aparat hukum dalam menegakkan Hukum dan HAM, para pelaku pelanggaran HAM dan kekerasan harus dihukum sesuai aturan dan perbuatannya. Jangan ada diskriminasi. PIAR NTT mengharapkan tahun-tahun ke depan wajah buram kemajuan penegakkan HAM di NTT dapat ditekan atau bahkan dihilangkan.
ANITRA SITANGGANG adalah aktivis pro demokrasi yang pada saat ini selain bergabung dengan LSM PIKUL NTT, juga merupakan Ketua Dewan Kesehatan Rakyat Prov. NTT.