BACA dan LAWAN ... !!!

zwani.com
WEB JARINGAN
SELAMAT MEMBACA

Sabtu, 19 Juni 2010

MORAL DAN HUKUM HARUS DISATUKAN

HUKUM adalah panglima. Artinya hukum tidak bisa diatur-atur. Hukum tidak bisa dibelokkan sesuai kepentingan dan hukum harus ditegakkan tanpa melihat status sosial. Tetapi bagaimana kalau penegak hukum gampang diatur? Tentu hukum tidak tegak.

Fenomena inilah yang terjadi di negeri tercinta ini; Indonesia. Kasus Gayus Tambunan, kini ibarat bola panas yang liar. Ia bisa menyambar siapa saja. Bisa juga kasus Gayus seperti bola salju. Makin lama-makin banyak yang terlibat.

Buktinya, setelah mantan Kabareskrim Susno Duadji ''menyanyikan'' kasus Gayus, telah menyeret belasan orang sebagai tersangka. Mereka terdiri atas para penyidik di Mabes Polri, hakim yang menangani kasus tersebut, pengacara, termasuk sejumlah orang yang disebut-sebut sebagai makelar kasus.

Dari pengungkapan, penanganan sampai keputusan kasus Gayus Tambunan, sangat jelas terlihat hukum bukan sebagai panglima. Demikian pula dalam kasus Anggodo dan kriminalisasi pimpinan KPK Bibit-Chandra. Banyak yang menilai kasus tersebut sarat dengan kepentingan. Bahkan, Bibit-Chandra menilai kasus ini tak lepas dari kegigihan KPK mengungkap kasus korupsi yang melibatkan puluhan anggota DPR. Walaupun tak diungkapkan secara gamblang, tetapi keduanya menyatakan kasus tersebut dilatarbelakangi upaya memperlemah peran KPK.

Benarkah demikian? Tentu hukum dan waktulah yang membuktikan. Tetapi, sejumlah anggota DPR membantah hal tersebut. Mereka menilai tak ada hubungan sama sekali antara diadilinya anggota DPR dalam kasus korupsi dengan kasus Bibit-Chandra.

Namun apa pun yang melatarbelakanginya, kedua kasus tersebut perlu mendapat perhatian semua pihak. Jangan sampai upaya untuk melemahkan penegakan hukum, baik dikarenakan ulah mereka yang ada di internal instansi tersebut maupun mereka yang ada di luar, terus terjadi di negeri ini.

Kasus Gayus, Anggodo dan Bibit-Chandra perlu perhatian semua pihak, termasuk Presiden. Memberi perhatian tidak berarti mengintervensi. Tetapi Presiden harus mengambil langkah pembenahan dan perbaikan, sehingga hukum benar-benar menjadi panglima. Presiden juga harus melakukan penataan SDM sehingga aparat penegak hukum betul-betul adalah orang yang terbaik, bermoral dan diyakini mampu menegakkan hukum secara adil terhadap siapa pun.

Menegakkan keadilan dalam hukum merupakan tugas yang sangat berat. Sebab, seringkali terjadi penyimpangan dalam realisasi praksisnya di lapangan politik. Seringkali fakta yang telah diletakkan penyelidikan hukum bisa berubah sekejap menjadi fakta politik yang kebal hukum. Di samping juga tidak sedikit aparat penegak hukum seringkali memainkan perundang-undangan yang berlaku, sehingga menjadikan hukum makin menjauh dari idealitas keadilan.

Sisi paradoksal juga dicerminkan ketika bersentuhan dengan fakta sosial di masyarakat. Seringkali hukum dibuat tidak berdaya. Kebebasan individu yang sangat kuat makin berkembang, menyesuaikan dengan arah gelombang politik.

Inilah yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Kepentingan politik dan satu aspirasi politik seringkali membuat aparat penegak hukum tak berdaya. Mereka diatur dengan alasan stabilitas keamanan dan politik. Kedua alasan tersebut (stabilitas keamanan dan politik) sering dijadikan tameng untuk mempermainkan hukum.

Padahal, hukum bukanlah membela kepentingan dan kebebasan individu, tetapi hukum harus berpijak kepada kepentingan dan keteraturan publik. Hukum sangat mengecam individu yang kebal hukum. Bahkan, individu yang demikian itulah yang harus menjadi target lembaga penegak hukum dalam merealisasikan penegakan keadilan. Karena keadilan milik semuanya, bukan memandang status dan jabatan.

Moralitas penegak keadilan adalah kata kunci untuk mengurai kusutnya hukum di Indonesia. Sebab, moralitas juga akan membangun sistem hukum itu sendiri mendekat kepada kebenaran dan keadilan, sehingga akan mendekatkan kepada idealitas hukum sebagai penegak keadilan. ( Tajuk Rencana – Bali Post, 19 Juni 2010 - http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailrubrik&kid=3&id=3883 ).

Sabtu, 12 Juni 2010

PERNYATAAN SIKAP

FRONT RAKYAT ANTI KORUPSI
NUSA TENGGARA TIMUR

(FRAKSI - NTT)


Bangsa ini di ibaratkan makluk yang selalu menjadi sasaran empuk para pemangsa rakus. Keluar dari mulut singa masuk mulut buaya adalah sebuah analogi sederhana yang tentu tepat dengan deskriptif sejarah perjalanan bangsa ini. Setelah baru saja menarik nafas kebebasan dari cengkraman kolonialisme dan fasisme, bangsa ini langsung di sambar dengan hegemoni kapitalisme serta resim otoriter, represif sarat korup selama 32 tahun. Harapan sejati akan perubahan politik, ekonomi serta budaya yang di hasilkan dalam perjuangan politik mahasiswa dan rakyat pada Mey 1998, ternyata hingga kini belum dirasakan.

Terpaan hegemoni kapitalisme kembali lagi dalam misi penjarahannya paska penandatanganan leter of intens (loi). Privatisasi aset-aset strategis bangsa, penguasaan sumberdaya alam, tenaga kerja yang murah, hancurnya industri nasional (BUMN/BUMS) akibat legitimasi terhadap ekspansi modal asing dalam bentuk deregulasi serta utang luar negeri yang makin menumpuk. Dan kemudian di perparah lagi dengan sebuah warisan penguasa lama yang sangat tercela dan memalukan adalah mentalitas pejabat negara yang KORUP serta penegakan supremasi hukum yang kacau-balau akibat pembangunan hukum yang hanya belandaskan system tebang pilih serta proseduralisme dan mengabaikan substansi hukum yakni keadilan (Justice).

Korupsi adalah Musuh Bangsa
Masih segar dalam ingatan rakyat Indonesia tentang janji rezim yang berkuasa kiniSBY-Boedionoyang dalam kampanyenya menempatkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (clean governance) merupakan salah satu pilar pembangunan. Disini, pembangunan mensyaratkan adanya pemerintahan yang bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Alhasil, mereka terpilih dan rakyat Indonesia pun menanti realisasi janji-janji ini, bukannya menunggu rasionalisasi.

Wujud jangka pendek penyelenggaraan pemerintahan SBY-Boediono dan komitmen mereka memberantas bahkan mencegah korupsi dapat kita ukur dalam program 100 Hari. Korupsi merupakan bentuk kejahatan yang dikategorikan sebagai “kejahatan luar biasa” (extra ordinari crime). Korupsi seharusnya menjadi “lawan” pertama dan terutama dari pemerintah. Sebab, korupsi adalah “biang” penindasan, penghisapan dan pemiskinan rakyat dan bangsa. Tidak peduli, apakah korupsi itu terjadi dalam lembaga-lembaga pemerintahan dan dilakukan oleh aparatur pemerintah, atau terjadi mulai dari tingkat RT sampai dengan Istana, korupsi harus diperangi dan para koruptor harus dihukum. Hal ini tentu dilandasi oleh kesadaran esensial yakni korupsi adalah musuh rakyat dan pemerintahmusuh bangsamusuh kita semua.

Namun, dalam perjalanan penyelenggaraan pemerintahan SBY-Beodiono, sederet kasus korupsi yang melibatkan bermacam-macam elemen pemerintahan, korupsi dan koruptor tidak dapat diberantas. Politik koruptif nampak tumbuh subur karena pemerintah mengalami disfungsi dan
bahkan menjadi bagian dalam praktek politik koruptif. Dan dalam hubungannya dengan agenda utama pemberantasan korupsi sebagaimana dijanjikan rezim SBY-Boediono, penghadapan terhadap politik koruptif akan cerminan dari sejauh mana mereka sejati terhadap komitmennya.

Polemik yang terkuak melalui apa yang disebut masyarakat Indonesia sebagai “Kriminalisasi KPK” telah menjadi jendela untuk rakyat melihat, memantau dan menilai betapa busuknya perilaku lembaga-lembaga dan aparatur negara berkaitan dengan upaya pemberantasan korupsi. Mengurai benang kusut korupsi sebagaiman terus-menerus dipublikasikan media, mulai dari skandal Bank Century, pencekalan dua pimpinan KPK yakni Bibit-Chandra oleh pihak Kepolisian, sosok Anggoro yang misterius dan kebal hukum, keterkaitan pejabat-pejabat Kepolisian dan Kejagung, lambatnya dan tidak tegasnya Presiden SBY, absurditas peran DPR, polemik RUU Tipikor, dan lain-lain, telah mengakibatkan munculnya reaksi protes dan perlawanan keras oleh rakyat di seluruh belahan nusantara. Ini patut dimaklumi, sebab selain rakyat telah menarik kepercayaannya dari para pejabat negara dan lembaga-lembaga hukum dan peradilan yang selama ini tidak sanggup memberantas korupsi serta mendapati bahwa baik lembaga dan aparatur negara tidak lebih sekadar “sarang” dan koruptor itu sendiri, rakyat menangkap indikasi adanya lingkar-lingkar konspiratif yang hendak “mematikan” upaya perang terhadap politik koruptif.

Fenomena ini harus tidak boleh dipandang sepele. Ia harus dibaca sebagai momentum telah terjadinya delegitimasi terhadap upaya memberantas korupsi di Indonesia, baik kepada pemimpin negara, lembaga-lembaga hukum dan aparaturnya dalam memberantas korupsi. Delegitimasi ini pun, menandai telah matinya supremasi hukum. Delegitimasi ini pun adalah gugatan terhadap eksistensi mereka yang sudah disfungsi ketika terlilit dalam lingkaran politik koruptif. Dan, delegitimasi ini adalah legitimasi rakyat atas suara telah “gagal-nya” resim SBY-Boedino dalam memberantas korupsi di Indonesia.

Dari sedikit deskripsi singkat di atas maka dengan ini kami FRONT RAKYAT ANTI KORUPSI NUSA TENGGARA TIMUR (FRAKSI - NTT) menyatakan beberapa tututan politik kami :

1. Menuntut SBY & BUDIONO segera mempertanggungjawabkan janji kampanyenya pada saat pemilihan peresiden yang lalu terkait dengan Penegakan Hukum, Pemerintahan yang Bersih, dan Pemberantasan korupsi.

2. Mendesak KPK untuk segera menuntaskan kasus dugaan korupsi di Bank Century yang sangat merugikan negara dan rakyat Indonesia dan diduga ikut menjadi biang keladi proses pelemahan KPK.

3. Mendesak Tim Pencari Fakta (TPF) dalam sengketa kriminalisasi KPK untuk transparan terhadap publik dalam setiap temuan kerja investigasinya.

4. Mendukung secara penuh kuasa hukum Bibit & candra dalam upaya membongkar setiap gerbang mafia peradilan yang masih membentengi semangat penegakan hukum di Indonesia.

5. Mendesak KAPOLRI untuk segera tangkap dan adili Anggodo Widjojo sebagai sutradara kriminalisasi KPK.

6. Mendesak SBY untuk segera mencopot pejabat penegak hukum yang terkait dengan permasalahan kriminalisasi KPK guna kelancaran proses hukumnya.

7. Menuntut perluasan struktur KPK sampai pada tingkat kabupaten di seluruh Indonesia.

8. Menuntut segera melakukan reformasi total dalam sistem penegakan hukum.


Demikian pernyataan sikap ini kami buat sebagai bentuk keperihatinan kami terhadap kondisi bangsa tercinta ini dan secara lebih khusus persoalan penegakan hukum yang semakin memalukan.



Kupang, 10 November 2009
FRONT RAKYAT ANTI KORUPSI
NUSA TENGGARA TIMUR

(FRAKSI - NTT)

Direktur PIAR-NTT
Sarah Lery Mboeik

Ketua BP. Pemuda GMIT
Winston Rondo

Ketua Forum Academia NTT
Wilson Therik

Wakil Direktur CIS Timor
Haris Oematan

Direktur Bengkel APPeK
Vinsen Bureni

Direktur RUMAH PEREMPUAN
Libby SinlaEloE

DPC PMKRI Kupang
Yoakhim Abi

Ketua BPC GMKI Kupang
Ebiets Massu

Ketua LMND Eksekutif Kota Kupang
Are Defretes

Ketua GERSAK Kupang
Bedy Roma

Ketua SEPARATIK Kupang
Willy Soeharly

Ketua SRMI NTT
Rio Ello

Ketua FORMASI NTT

Paul SinlaEloE

Direktur PIKUL NTT
Silvya Fanggidae


Direktur Perkumpulan Masyarakat
Penggulan Bencana
Yus Nalmofa

Ketua Dewan Kesehatan Rakyat
Nusa Tenggara Timur
Anitra Sitanggang

Ketua Yayasan Cemara
Mathelda Djubire

Ketua SENAT FKIP-UKAW
Eksi Riwu

Ketua KMK HUKUM UNDANA
Gregorius Dae

TRASNLATE:


SHARE IT:

Twitter Facebook Delicious Google Delicious Stumbleupon Delicious Technorati Reddit GoogleBuzz Buzz Myspace Yahoo Favorites More